Radigfa Media

Biografi Tuan Guru Surgi Mufti (Syaikh Jamaluddin bin H. Abdul Hamid Qusasi Al Banjari)


Kubah Tuan Guru Surgi Mufti (Syaikh Jamaluddin bin H. Abdul Hamid Qusasi Al Banjari) - Foto Google Maps

Radigfamedia.online, Kalimantan Selatan - Syaikh Jamaluddin Al Banjari adalah salah satu ulama besar Kalimantan Selatan yang hidup di masa penjajahan Belanda, beliau juga dikenal dengan sebutan Tuan Guru Surgi Mufti. Istilah surgi berarti suci dan mufti berarti pemimpin, sehingga surgi mufti berarti pemimpin yang suci. Julukan ini diberikan Belanda karena sikap istiqamah beliau yang memiliki kesucian hati dan tekun dalam beribadah. Beliau dilahirkan di desa Dalam Pagar, Martapura pada tahun 1232 H/1817 M dari pasangan H. Abdul Hamid Qusasi dan Hj. Zaleha.

Dari silsilah, Syaikh Jamaluddin merupakan cicit Datu Kalampayan melalui jalur ibunya yaitu Syaikh Jamaluddin bin Hj. Zaleha binti Pangeran Mufti Ahmad bin Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari (Datu Kalampayan). Sedangkan dari jalur ayahnya adalah Syaikh Jamaluddin bin H. Abdul Hamid Qusasi bin Syarifah binti Umpil bin Mu'min (seorang Menteri zaman Kesultanan Banjar).

Sejak remaja, Syaikh Jamaluddin sudah menimba ilmu di Tanah Suci Makkah Al Mukarramah. Sekitar tahun 1894 M, Syaikh Jamaluddin kembali ke Banjarmasin di masa-masa terjadinya konfrontasi dengan Belanda.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Sosok Ulama Karismatik Tuan Guru KH. Ahmad Zuhdiannor (Abah Guru Zuhdi)

Sekembalinya ke Tanah Banjar, beliau dihadapkan dengan dua pilihan. Apakah ikut konfrontasi menghadapi penjajah dan bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari atau memilih menjalankan dakwahnya. Tahun 1899 M, beliau akhirnya memutuskan menjalankan dakwahnya setelah Belanda mengangkatnya sebagai mufti. Jabatan mufti adalah jabatan penting pada masa itu, setara dengan menteri atau hakim. Putusannya adalah untuk menjalankan syariah hukum Islam bagi warga Banjar.

Syaikh Jamaluddin juga terkenal sebagai ahli falaqiyah (astronomi), beliau sering dimintai pendapat untuk memutuskan awal dan akhir bulan Ramadhan berdasarkan perhitungan hilal yang beliau kuasai. Bahkan urusan bertani di masa itu, kapan waktunya bercocok tanam yang baik juga menjadi bidang yang dikuasainya.

Sebagai ulama dan pendakwah, kekuatan ilmunya sudah mencapai titik tertinggi dengan berbagai karamah yang dimiliki. Dalam sebuah ceramah di hadapan murid-muridnya, Syaikh Jamaluddin mengatakan bahwa di setiap ada air pasti ada ikannya. Pernyataan ini terdengar oleh petinggi Belanda dan memanggilnya untuk melakukan tes kebenaran ucapan itu.

Sebiji kelapa muda dibawa ke hadapan Syaikh Jamaluddin, petinggi Belanda itu kemudian bertanya: Jika ada air pasti ada ikan, apakah di dalam kelapa ini juga ada ikannya? Lalu kelapa muda ini pun dibelah, seketika airnya muncrat dan pada saat bersamaan seekor ikan menggelepar keluar dari buah kelapa tadi.

Sejak kejadian itu, petinggi Belanda semakin menaruh rasa hormat kepada Syaikh Jamaluddin, sebab tidak hanya ahli ibadah dan kuat dalam agama tetapi juga piawai dalam perkara dunia.

Meski hidup dan tumbuh di lingkungan Pemerintah Belanda, namun kelebihan Syaikh Jamaluddin tetap bergaya ulama. Keteguhannya beribadah menjadi bukti betapa kekuatan ilmu agama lebih mulia daripada urusan dunia.

Baca Juga: Biografi Tuan Guru H. Abdurrahman Shiddiq Kampung Kopi Barabai: Ulama Lembut dan Teladan

Tidak salah pula jika kepemimpinannya disukai Belanda dan dakwahnya dinantikan murid-muridnya. Syaikh Jamaluddin mengadakan pengajian duduk, beliau tidak berdakwah dari rumah ke rumah, tetapi justru warga yang berdatangan ke rumahnya. Yang datang tidak hanya jamaah di sekitar rumahnya, tetapi juga dari berbagai daerah lainnya.

Karamah Syaikh Jamaluddin lainnya adalah suatu ketika beliau melakukan perjalanan dari Sungai Jingah menuju desa Dalam Pagar Martapura, di perjalanan itu salah satu warga melapor bahwa perhiasan emasnya terjatuh dan hilang di sungai. Lalu beliau merentangkan salah satu tangannya ke sungai, perhiasan yang tenggelam itu tiba-tiba ada di tangan beliau.

Yang lebih mengherankan lagi adalah dalam perjalanan itu, Syaikh Jamaluddin ternyata menyusuri Sungai Martapura dengan menggunakan perahu bocor namun perahu itu tidak tenggelam. Setelah tiba di tujuan, barulah perahu tersebut tenggelam.

Syaikh Jamaluddin juga punya andil dalam membuka jalur dari desa Dalam Pagar menuju desa Kalampayan, bahkan beliaulah yang membuat atang (cungkup) makam datuknya yaitu Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Syaikh Jamaluddin Al Banjari wafat pada hari Sabtu tanggal 08 Muharram 1348 H/15 Juni 1929 M sekitar pukul 15.00 WITA dan dimakamkan di kubah yang beliau bangun sendiri yang dulunya digunakan untuk menerima murid-muridnya.

Lokasi makam: di Jalan Sungai Jingah, kelurahan Surgi Mufti, kecamatan Banjarmasin Utara, kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Link Google Maps).


Penulis: Al Faqir Ahmad

Editor: Muhammad Syahrifani

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak