Radigfa Media

Tragedi Pembantaian Westerling 1946: Mengungkap Kekejaman dan Perlawanan di Sulawesi Selatan

Radigfamedia.online - Pada bulan Desember 1946 hingga Februari 1947, terjadi salah satu tragedi berdarah terbesar dalam sejarah Indonesia yang dikenal sebagai Pembantaian Westerling. Peristiwa ini terjadi di Sulawesi Selatan, saat Belanda yang tidak rela kehilangan kendali atas wilayahnya di Indonesia, mengirimkan pasukan khususnya, Depot Speciale Troepen (DST), yang dipimpin oleh Raymond Pierre Paul Westerling.

Tragedi Pembantaian Westerling 1946: Mengungkap Kekejaman dan Perlawanan di Sulawesi Selatan - Foto Net

Latar belakang tragedi ini dapat ditelusuri dari reaksi Belanda terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Belanda berupaya merebut kembali wilayahnya dengan berbagai cara, termasuk agresi militer dan pendirian negara boneka seperti Negara Indonesia Timur dengan ibu kota di Makassar. Selain itu, gerakan pemberontakan seperti Pemberontakan Kahar Muzakar juga memperburuk situasi, yang kemudian direspons dengan keras oleh pasukan Westerling.

Pasukan Westerling tiba di Makassar pada 5 Desember 1946 dengan misi untuk memberantas para pejuang kemerdekaan dan pendukungnya di Sulawesi Selatan. Mereka menggunakan metode "Standrecht," yaitu pengadilan dan eksekusi langsung di tempat, tanpa pengadilan formal, terutama menargetkan mereka yang diduga mendukung kemerdekaan Indonesia atau melawan Belanda.

Operasi pembantaian dimulai pada 11 Desember 1946 di desa-desa sekitar Makassar seperti Batua, Pattunuang, Parang, dan Baray. Orang-orang yang dicurigai atau dituduh memberontak dieksekusi secara massal. Kekejaman ini tidak hanya terbatas di satu tempat, tetapi meluas ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan seperti Gowa, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, dan daerah-daerah lainnya. Total korban dilaporkan mencapai sekitar 40.000 jiwa menurut laporan saat itu, meskipun perkiraan resmi Belanda kemudian jauh lebih rendah.

Raymond Pierre Paul Westerling, pemimpin pasukan DST, menjadi sosok sentral dalam pembantaian ini. Westerling, yang lahir di Turki dan memiliki latar belakang militer yang kuat, dikenal dengan pendekatannya yang keras dan tindakan yang kontroversial. Meskipun awalnya dihargai oleh pemerintah Belanda atas "keberhasilannya" di Sulawesi Selatan, tindakannya kemudian menyebabkan kontroversi besar dan dia dipecat pada November 1948 karena pelanggaran hak asasi manusia.

Pembantaian Westerling, selain meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Sulawesi Selatan, juga menjadi titik penting dalam sejarah perjuangan Indonesia merebut kemerdekaannya dari penjajahan. Peristiwa ini mengingatkan kita akan biaya berat yang harus dibayar dalam perjuangan melawan kolonialisme dan penindasan, serta pentingnya memperingati dan menghormati korban yang telah gugur dalam perjuangan tersebut.

Sebagai bagian dari warisan sejarah yang penting, Pembantaian Westerling tidak hanya mengingatkan kita akan kekejaman perang, tetapi juga menuntut refleksi mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian yang harus kita junjung tinggi sebagai bangsa yang merdeka dan beradab.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak